Rindu yang Berada Pada Bulan Kelima

Aku bertemu engkau dalam mimpi. Seperti mengisyaratkan pertemuan terakhir, aku mencium tanganmu. Sedikit berbeda karena tanganmu telah dingin.

-oOo-

Pernah kalian rindu dengan seseorang sehingga membuat kalian menangis?

Bukan dengan kekasih. Melainkan dengan orang yang tidak akan pernah tergantikan dalam hidup.

Aku sedang mengalaminya. Aku rindu Eyang Uti. Sosok yang sangat penting dalam hidupku. Di mana beliau sekarang? Di pelukan Tuhan.

Beliau adalah salah satu orang yang selalu mendukung citaku. Merelakan sisa hidupnya untuk selalu menyebut namaku dalam doanya.

Setiap malam, aku menemani beliau untuk tidur. Yang selalu aku ingat, beliau menggenggam tasbih dan berdzikir sebelum terlelap. Di sepertiga malam, beliau selalu bangun untuk tahajud. Mengingat Tuhan dan bersyukur atas apapun yang telah didapat.

Hingga suatu hari, tidak ada firasat apapun. Aku pamit untuk pergi dan tidak menemani beliau malam itu. Aku cium tangan dan kedua pipinya.

Paginya, aku mendapat kabar beliau telah menutup mata untuk selamanya. Hancur? Aku hancur. Di saat terakhir beliau, aku tidak ada di sampingnya.

Jika aku tahu itu adalah hari terakhirnya, aku akan tidur memeluk tubuhnya dan menceritakan betapa beruntung aku menjadi cucunya.

Aku datang saat tubuh beliau sudah diselimuti kain. Tubuh yang terbujur kaku. Menangis? Aku sudah tidak bisa menangis.

Mengikhlaskan kepergiannya menjadi hadiah yang kuberikan terakhir kali untuknya. Aku tidak ingin beliau bersedih. Aku ingin beliau kembali ke pelukan Tuhan dengan tenang dan lapang.

-oOo-

Selamat malam, Uti. Sudah sembilan bulan engkau pergi. Masih ingat dalam benakku saat terakhir aku mencium tanganmu. Meminta izin untuk pergi. Dan ternyata, engkau yang harus pergi untuk selamanya. Bagaimana di sana, Uti? Pasti senang berkumpul kembali dengan Akung. Kalian memang ditakdirkan untuk selalu bersama. Aku di sini baik-baik saja. Oh sedikit menangis. Tenang, ini hanya air mata rindu.

Oh iya, apa di sana engkau bertemu adik Nada? Adikku yang pertama. Yang juga telah pergi saat belum genap satu bulan usianya. Pasti dia sudah menjadi bidadari surga. Aku yakin. Jika dia masih berada di dunia, pasti sangat cantik. Seperti mama dan Amara. Tolong sampaikan kami sangat merindukannya. Papa, mama, aku, Ghifa dan Amara ingin sekali bertemu. Walau hanya dalam mimpi, setidaknya kami bisa tahu bahwa dia baik-baik saja.

Uti, terima kasih telah hadir dalam hidupku. Ikut merawat dan menjadikanku laki-laki yang tangguh. Terima kasih telah sudi menyebut namaku dalam doamu. Terima kasih telah memberi pelajaran yang sangat berarti dalam hidupku.

Sekiranya hanya doa yang dapat aku berikan. Semoga Tuhan menyampaikan doa-doaku untukmu. Untuk Akung, adik Nada dan lainnya. Salam sayang dan rindu yang mendalam dariku.

Uti, engkau cinta dalam hidupku. Sampai bertemu ketika aku sudah menutup mata, untuk selamanya.

Cucumu,

Abiseka.

Tanggal dua bulan lima. Jemari kaku menunggu pagi. Gelasku pecah tak bertepi. Rindu menyiksa, menyisakan perih.

Sayang, bagaimana kabarmu? Kaki kecil enggan berlari seolah tak ada rasa ingin pergi. Aku ingin menggunting jarak. Agar kita tak berpisah, kelak.

Aku berlindung dari pamit yang sedari tadi mengintip.  Tak semestinya ia datang tanpa permisi. Pun aku tahu, purnama tak bertahan selamanya.

Sudah. Sudah. Esok pagi embun siap membasahi kelopak bunga yang bermekaran. Jika kamu harus pergi, aku siap meniup-niup lukaku sendiri.

Dua Puluh Empat dan Wanita Pencerita

“Kamu hati-hati ya, Dek!”

Ya. Seperti itulah yang kau ucapkan ketika kita hendak berpisah. Kalimat tersebut selalu diakhiri oleh senyum khas darimu. Tetapi, sudah lama aku tidak mendengar itu. Kapan terakhir kita bertemu? Entah.

Rasanya baru kemarin kita sama-sama bertukar cerita tentang hidup. Aku ingat saat kau bercerita yang menurutku cukup membuat dirimu terluka. Namun kau menceritakannya seolah tak ada luka yang kau rasa. Dasar wanita periang.

Atau saat kau bercerita, sewaktu SMA kau pernah mengenakan baju sexy saat prom? Itu lucu. Kau seolah ingin aku percaya. Banyak sekali ceritamu. Kau memang wanita pencerita.

Mbak, apa kabar? Banyak rindu di sini. Kau kenal rindu? Mereka itu yang membuatku hampir menangis saat mengingatmu. Mereka jahat. Terkadang mereka datang tidak mengenal waktu. Ingin sekali membuang mereka semua. Kalau kita bertemu, akan aku ajak mereka. Kau boleh memarahi mereka. Mereka takut dengan wajah judesmu itu, Mbak.

Aku ingat saat aku sedang berada di bawah, aku tidak percaya dengan diriku bahkan semua orang menganggapku rendah, kau ada di sampingku untuk menguatkanku. Tidak perduli apa kata orang tentangku. Lama atau tidaknya kita saling mengenal, bukan masalah untukku. Karena kau telah membuka pandanganku.

Apa kau masih ingat sewaktu kau mengajariku untuk selalu ikhlas? Ikhlas dalam apapun. Karena katamu, ilmu ikhlas adalah ilmu yang paling sulit untuk dipelajari. Tentunya, aku akan selalu ingat itu.

Mbak, apa saja yang sedang kau inginkan? Coba kau sebutkan. Oh, tidak. Aku tidak akan memberimu semua itu. Aku hanya akan meng-aamiin-kan saja. Bukan kah setiap perkataan itu adalah doa? Ya. Aku selalu percaya itu. Kau harus percaya. Setelah kau percaya, maka kau akan berusaha untuk mendapatkannya.

Selamat menempuh dua puluh empat, Mbak. Sekiranya, doa yang telah terucap dapat menembus langit ke tujuh untuk disampaikan kepada Semesta.

Ah. Sudah saatnya aku pamit. Aku tidak ingin terlalu menyanjungmu. Nanti kau besar kapala. Jadi, kapan kau akan memarahi semua rindu dan membiarkan mereka menjauh hingga tidak ada lagi sekat pemisah antara kita?

Aku tunggu jawabmu.

 

Adikmu,

Abiseka.

 

2015 dan Lelaki Penghibur

Sudah berjalan 9 hari di 2016. Tetapi, rasa dan bayang-bayang 2015 masih menari meminta untuk dilihat dan diberi tepukan. Ya. 2015 tidak bisa kututup begitu saja. Terlalu banyak tulisan yang menunggu untuk diperlihatkan.

Naik turun kehidupan. Jatuh bangun kenyataan sudah dilalui pada tahun itu. Proses mencari jati diri; mungkin bisa dikatakan seperti itu. Memutuskan sebuah keputusan yang sangat berat pun aku lakukan. Ingin berlari dari sebuah kegelisahan bukan suatu cerita baru.

Lelaki penghibur. Diriku menyebutnya. Ya.
Aku menjadi lelaki penghibur.

Setiap hari adalah proses. Rasa lelah selalu terkalahkan oleh keinginan yang diimpikan. Saat merasa lelah, selalu berpikir; aku melakukan ini semua untuk membahagiakan diri dan keluargaku. Jika tercapai, yang bahagia bukan hanya aku, melainkan juga keluargaku.

Menjadi lelaki penghibur tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Aku harus tetap menghibur walaupun diriku sendiri butuh hiburan. Lucu, bukan?

Seperti di saat almh. Eyangku terbaring di rumah sakit. Saat itu, sehabis menjenguk beliau, aku harus segara berlarian dengan waktu untuk menghibur orang banyak. Bukan hal yang mudah untukku. Pikiranku kacau. Tetapi, ini harus kulakukan karena ini profesiku. Apa aku akan menghibur dengan setengah hati? Tentu tidak. Lelaki penghibur sepertiku harus bisa membagi pikirannya. Di belakang panggung, aku boleh terlihat sedih. Namun di atas panggung, aku adalah tuan rumah. Seperti tuan rumah yang baik, aku harus menyuguhkan yang terbaik untuk tamu-tamuku.

Kalau kalian bilang munafik, tidak juga. Aku hanya melakukan apa yang harus aku kerjakan.

Memang, 2015 telah usai. Hanya angka yang berubah. Bukan impian dan harapan.

2016 telah berjalan. Pasti ada rintangan, namun terdapat keberanian dan harapan di ujung jalan.

Abiseka.

Dua Puluh Satu.

Kamis, 13 Oktober 1994.

Matahari berganti peran.
Awan enggan beranjak.
Langit membawa hujan.

***
Seorang wanita memperjuangkan hidupnya untukku. Di antara rasa sakit, terdapat rasa haru ketika tangis pertama keluar dari mulut mungilku. Ya, wanita itu yang saat ini kusebut dengan “Mama”.

Adzan terdengar di ruang persalinan. Seorang pria melafalkannya dengan haru yang tertahan. Rasa syukur beriringan dengan kebahagian. Seorang pria itu yang kini kupanggil “Papa”.

Seorang anak laki-laki yang kini telah dewasa. Memang, belum banyak pengalaman hidup yang ia temui. Tetapi, sedikit banyak ia telah mengerti apa arti hidup. Dan ia adalah, aku.

***

Sudah berapa lama kau hidup di dunia ini?
Sudah berapa banyak pelajaran yang semesta berikan kepadamu?
Atau
Sudah berapa jauh kakimu melangkah mengitari luasnya mimpi yang menunggu untuk diwujudkan?

Jawabannya ada pada dirimu.

***
Menuju dua puluh satu, semesta begitu banyak memberi kejutan. Ia tidak henti-hentinya membawa cerita baru untuk kehidupan. Pun tidak jarang memberikan pelajaran.

Menuju dua puluh satu, banyak keputusan yang harus segera dilakukan. Baik atau buruknya merupakan resiko perjalanan. Rasa salah pun terkadang singgah. Tapi bukan suatu masalah.

Menuju dua puluh satu, satu persatu mimpi mulai diwujudkan. Berdiri melawan ketakutan. Melaju bersama kekuatan.

***
Alhamdulillah. Sudah menjadi dewasa dalam usia. Bukan lagi saatnya bermain-main. Banyak tujuan yang harus disinggahi untuk dituntaskan.

Lebih banyak bersyukur. Diberi kesempatan untuk menikmati hidup. Tidak lupa untuk berterima kasih kepada yang mempunyai semesta.

Bismillah. Selamat dua puluh satu.

Teruslah bercerita. Semesta tak akan berdusta.

-Abiseka.

Bersitan Doa.

Pa…

Selama aku berada di dunia ini, mungkin baru sedikit hal yang membuat papa bangga terhadapku.
Selama aku berada di dunia ini, mungkin banyak kesal papa terhadapku.
Selama aku berada di dunia ini, tak dapat kuhitung kebaikan papa terhadapku.

Pa…

Rambutmu kini telah berganti warna. Tidak seperti saat kau mengadzani diriku untuk pertama kali.
Kulitmu mulai keriput. Tanda telah banyak cerita yang telah kau punya.

Pa…

Seperti halnya seorang anak terhadap ayahnya, aku sangat beruntung bisa menjadi anak papa.
Kerja keras papa selama ini membuatku kagum.
Keihklasan papa membanting tulang untuk kami membuahkan rasa syukur yang tidak terhingga.
Ketegasan papa dalam mendidik kami, membuat kami tegar dan ikhlas setiap mengahadapi apapun.

Pa…

Jika sudah saatnya, aku akan menjadi seorang ayah seperti papa.
Aku akan menjadi imam untuk keluargaku.
Aku akan menjadi panutan untuk anak-anakku.
Aku akan selalu menggunakan ilmu yang papa berikan walaupun tak pernah ada dalam buku catatan. Karena semua itu telah kucatat dalam ingatan.

Pa…

Selamat ulang tahun.
Terima kasih atas segala keikhlasan.
Terima kasih atas segala pelajaran.
Terima kasih atas segala kasih sayang dan telah menjadi papa yang baik untuk kami.

Pa…

Aku hanya dapat bersimpuh di hadapan Tuhan untuk selalu mendoakanmu.
Semoga papa selalu diberikan kesehatan dan panjang umur.
Semoga papa dapat melihat anak-anak papa mecapai kesuksesan dengan keringatmu yang telah bersenyawa dengan kerja keras kami.
Semoga papa dapat melihatku berdiri di atas panggung megah dan menyanyikan lagu tentang ayah. Iya, lagu untukmu.

Banyak lagi doa yang akan kuserahkan kepada Tuhan untukmu.
Semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan semua doa-doaku.

Sekali lagi, selamat ulang tahun pa…

Anak pertamamu,
Raindy Widura Abiseka.

Ketika lelah tak akan berarti.
Ketika malam pun enggan beranjak berganti dengan pagi.

—–

Kepada wanita yang akan berada 1 shaf di belakangku.

Saat ini aku tak tahu siapa dirimu.
Mungkin kita sudah saling mengenal.
Atau mungkin kita belum pernah mendengar nama masing-masing dari kita sekalipun.

Siapapun dirimu nanti, aku harap aku bisa membawamu untuk menjadi bidadari surgaku.

Siapapun dirimu nanti, aku harap aku menjadi bahu untuk bersandar saat kamu lelah.

Siapapun dirimu nanti, aku harap aku menjadi orang yang terakhir mengecup keningmu disaat kau terlelap.

Kepada pelengkap malamku.
Pada saat aku berjabat tangan dengan ayahmu nanti, aku telah yakin bahwa kamulah yang diturunkan Tuhan untuk meng-amin-kan semua doa-doa kita.

Kamulah yang akan menjadikan keluarga kecil kita menjadi lengkap dengan kehadiran anak-anak kita kelak.

Kamulah yang akan menjadi makmum-ku beserta anak-anak kita. Dan aku akan menjadi imam, baik dalam shalat maupun keluarga.

Kepada penghapus lelahku.
Biarkanlan saat ini aku berusaha untuk mewujudkan cita-citaku.

Biarkanlah saat ini aku membangun semua mimpiku.

Biarkanlah saat ini aku berdoa agar Tuhan segera mempertemukanku denganmu.

Semoga Tuhan tidak lelah mendengar semua doa-doaku.

—–

Jakarta, 10 Maret 2015.
-Abiseka.

Lembar Ketiga.

Tutup.

Kemudian, ku buka.

Baru.

Baru saja.

Ku tutup mata pada lembar pertama dan kedua. Ku buka pada lembar ketiga.

Tuangkan teh pada kertas. Tak perlu kopi.

Ringan.

Beri sedikit gula. Jika tak ingin, tak perlu.

Aku perlu. Agar manis.

Kopi? Sudah ku beri gula. Tetap pahit. Aku tak suka.

Pada lembar ketiga, basah teh memaniskan kertas.

Pada lembar ketiga, ku harap akan sampai pada lembar berikutnya.

-Abiseka.

Berada dalam satu lingkaran, salah. Tidak berada dalam satu lingkaran pun salah. Tidak ada hentinya bergunjing tentang keputusan seseorang.

Tidakkah lebih baik diam atau setidaknya bertanya daripada membicarakan sesuatu yang tidak tepat?

Kau yang membuat berita, kau yang menyebarkan dan kau yang lari dari pertanggung jawaban.

Sudah cukup ku memberi ruang. Sekarang sudah tahu apa yang harus kulakukan. Tersenyum. Iya, tersenyum. 🙂

Aku tahu siapa yang selalu ada dan siapa yang hanya ingin mencari muka. Aku tahu siapa yang peduli dan siapa yang hanya ingin tahu.

Biarkan mereka berucap apa yang ingin mereka ucap. Ada saatnya nanti mereka diam dengan sendirinya. Entah kapan. Tetapi ku harap, secepatnya.