Biarkan saja gelas ini pecah. Memecahkan keheningan yang tak bertepi. Meninggalkan luka yang tak tertutup. Biar aku meniup-niup lukaku sendiri.

Kukira dengan lenyapnya kabut di hadapanku, aku dapat melihat kuncup bunga yang mulai merekah. Menyapu sisa embun yang hinggap pada kelopak. Memetiknya dan kutaruh pada sisi sunyiku. Kubiarkan ia mengering dan layu seiring detik menggunting waktu.

Sudah, sudah. Entah apa yang ada dipikiranmu.

Aku tahu, ada beberapa kepala yang menjadikan cinta sebagai tangannya.

Membiarkan tangan-tangan itu menjamah setiap bagian pada tubuh.

Hingga akhirnya berhenti dan melepasnya.

Berhenti karena tangan itu kini menggenggam pecahan kaca yang kau bawa semalam.

Darah yang mengalir pun hanya sebuah perhiasan.

Kau tetapĀ  berjalan meskipun sisa-sisa darah itu mengikuti kemanapun kau pergi.

Dan pada akhirnya, kau membasuhnya.

Kini, tinggalah anyir yang menghampiri.

Kau tak perduli.

Karena tanganmu telah kembali.

Kau baik sekali.

Kau telah membisikan arti cinta kepadaku.

Tapi biarlah aku berpesta dengan kesendirianku.

Tak perlu kau risaukan.

Pun aku sedang bersusah payah meratapi jarak dan menghitungnya.

Menampung rindu dan membiarkannya meluap.

Aku harap kau tak begitu.

Biar cinta yang berbicara. Apakah ia setia, atau mendua.

Bisikan Kepadaku.

Di sini sudah malam.

Penerang malam telah menampakan seyumnya.

Aku tahu angin yang berhembus dan berbisik itu.

Ia mungkin hanya ingin menyapa, dan bertanya apa itu cinta.

Tak perlu tergesa-gesa dalam memaknai cinta.

Aku bukan pujangga cinta .

Biar saja.

Biar saja mereka memaknai bersama hembusan angin yang membelai jemari.

Sudah. Tak perlu kau pikirkan.

Jika nanti kau telah merasakan dan menemukan jawaban, bisikan kepadaku.

Bisikan kepadaku, apakah ia nyata atau hanya buaian belaka.